Senin, 21 Oktober 2019

Tafsir kitab pengkhotbah 1:12-18

PENGKHOTBAH 1:12-18

PENGEJARAN HIKMAT ADALAH SIA-SIA

1:12 Aku, Pengkhotbah, adalah raja atas Israel di Yerusalem. 
1:13 Aku membulatkan hatiku untuk memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat segala yang terjadi di bawah langit. 
Itu pekerjaan yang menyusahkan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia  untuk melelahkan diri. 
1:14 Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.  
1:15 Yang bongkok tak dapat diluruskan, dan yang tidak ada tak dapat dihitung. 
1:16 Aku berkata dalam hati: "Lihatlah, aku telah memperbesar dan menambah hikmat lebih dari pada semua orang yang memerintah atas Yerusalem sebelum aku, dan hatiku telah memperoleh banyak hikmat dan pengetahuan." 
1:17 Aku telah membulatkan hatiku untuk memahami hikmat  dan pengetahuan, kebodohan dan kebebalan.  Tetapi aku menyadari bahwa hal inipun adalah usaha menjaring angin, 
1:18 karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan. 



BAB I
PENDAHULUAN



LATAR BELAKANG KITAB PENGKHOTBAH.
Nama’’ Pengkhotbah’’ merupakan terjemahan dari kata Ibrani qohelet, yaitu orang yang memanggil suatu sidang, mungkin untuk mengajarnya. Karena itu terjemahan’’Pengkhotbah’’ tidak salah walaupun Qohelet kadang-kadang dieja Kohelet memang tidak sama dengan pengkhotbah Kristen yang memberitakan firman Allah berdasarkan nats dari Alkitab. Qohelet mengambil bahannya dari pengamatannya sendiri mengenai hidup bukan dari kitab Taurat atau Nabi-nabi.

TEMPAT KITAB INI DALAM KANON

Ada tradisi Ibrani yang menempatkan Qohelet di antara lima gulungan Megilot yang digunakan dalam perayaan resmi; Qohelet dipakai pada hari raya Pondok Daun. Tradisi ini dibuktikan dalam dokumen-dokumen dari abad ke-11 sM.
Pengelompokan Ibrani lainnya menghubungkan Qohelet dengan Kitab Amsal dan Kidung Agung, sebagaimana ditetapkan dalam Septuagintadan masih di pakai dalam Alkitab bahasa latin Vulgata, Inggris dan Indonesia . Alasan-alasannya jelas , yaitu; acuan tak langsung pada Salomo 1:1,12,17; dan hubungan yang jelas antara kitab-kitab tersebut sebagai contoh tulisan hikmat yang dikaitkan dengan nama Salomo. Kelompok ini ditempatkan setelah kitab Mazmur karena diperkirakan bahwa tulisan-tulisan yang dianggap berasal dari Salomo harus terletak setelah tulisan-tulisan yang dianggap berasal dari ayahnya. Daud
Agaknya hubungan Salomo dan Qohelet memungkinkan kitab ini dimasukkan ke dalam kitab suci, tetapi bukan tanpa kesulitan. Para rabi Yahudi dan orang-orang bijak Kristen mula-mula sadar akan kontradiksi-kontradiksi kitab ini dan sudut pandangannya yang bersifat humanistis, bahkan hampir skeptis. Keputusan yang positif dari Hillel kira-kira 15 sM mengalahkan pendapat negatif dari Shamai, sehinggah kitab ini dipertahankan dalam kanon Alkitab. Keraguan mengenai pengilhaman dan otoritasnya terus ada di antara orang-orang Kristen sekurang-kurangnya sampai masa Theodorus dari Mopsuesta kira-kira 400 M, penafsir terkenal dar mazhab Antiokhia, yang mempermasalahkan apakah Qohelet laya dimasukkan di antara kitab-kitab suci.

PENULISAN 

Ahli-ahli Protestan sejak masa Luther  abad ke-16 M, cenderung berpendapat bahwa kitab Qohelet ditulis setelah masa Salomo, meskipun bertentangan dengan tradisi para rabi yang hampir suara bulat. Pandangan para rabi itu berdasarkan penafsiran harfiah Pengkhotbah 1:1 dan kecenderungan untuk menghubungkan nama Salomo dengan semua tulisan hikmat, karena Salomo di pandang sebagai bapak orang bijak, sama seperti ayahnya Daud dihubungkan dengan kitab Mazmur sebagai bapak pemazmur.
Ada bermacam-macam bukti bahwa kitab ini ditulis jauh sesudah abad ke-10 sM zama Salomo. Nama Salomo tidak disebutkan dalam kitab Pengkhotbah; yang ada hanyalah pernyataan yang tersirat anak Daud raja di Yerusalem ‘’,Pkh 1:1,;raja atas Israel di Yeruslaem ‘’,1:12aku’’, 1:16; bnd, 2:9. Pernyataan tersirat ini terdapat hanya dalam benar untuk seorang raja contoh Pkh 4:13; 7:9; 8:2-4; 9:14-15; 10:4-7. Lagi pula, banyak yang dikatakan Qohelet mengisyaratkan adanya Kitab Amsal, suatu gerakan yang di Israel mulai dengan Salomo tetapi hanya mencapai puncaknya setelah masa Hizkia abad ke-7 sM. Pengkhotbah meragukan kepercayaan dan nilai-nilai Israel kuno hal itu menunjuk pada masa sesudah kegiatan para nabi telah mencapai puncaknya dan pengharapan vital akan kehadiran dan kuasa Allah yang aktif mulai menurun. Akhirnya, baik kosa kata maupun susunan kalimatnya tergolong masa sesudah pembuangan, lebih mirip dengan gaya Misyna daripada gaya kitab-kitab Pejanjian Lama lainnya.
Selama satu abad atau lebih, bukti linguistik ini telah menjadi bukti terkuat yang mendukung waktu penulisan kitab Pengkhotbah antara tahun 400 dan 200 sM. Waktu penulisan sesudah tahun 200 sM tak mungkin karena Kitab Sirakh kira-kira  180 sM mengacu pada kitab Qohelet, dan bagian-bagian dari Kitab Qohelet di antara naskah-naskah Laut Mati. Untuk mendukung penulisan ini dengan melihat kesejajaran-kesejajarannya dengan filsafat Yunani, tidak ada hasilnya. Walaupun ada kesamaan yang dangkal dengan karya Aristoteles, Theogonis,  para pengikut Epikurus dan kaum Stoa, Qohelet adalah seorang bijak dari rumpun Semit, bukan filsuf Yunani, yang pikiran dan pendekatannya mencerminkan dunia yang sangat lain daripada dunia mereka. Ada pula kesamaan-kesamaan denga pemikiran dan gaya tulisan hikmat Mesir, terutama karya yang bersifat pesimis seperti seperti Nyanyia Pemetik Kecapi. Hal ini bukan berarti bahwa Qohelet secara sadar memanfaatkan sumber-sumber asing. Malah ia mengikuti cara hikmat yang lama dalam mempermasalahkan kesimpulan rekan-rekannya. Karena ia dan rekan-rekannya adalah orang Israel yang hidup dalam iman dan kebudayaan Israel yang khas, maka kitab ini unik dari tidak dapat dianggap sebagai turunan tulisan-tulisan Mesir dari Mesopotamia.
Memang jauh lebih mudah mengatakan bahwa Raja Salomo bukti penulis Kitab Pengkhotbah daripada mengatakan siapa penulisnya.Penulisnya jelas seorang bijak yang berhasrat menantang pendapat-pendapat dan nilai-nilai orang-orang bijak yang lain. 


















BAB II
ISI TAFSIRAN :


1:12 Aku, Pengkhotbah, adalah raja atas Israel di Yerusalem. 
Ayat 12 Dalam ayat ini di pergunakan kata orang pertama tunggal, “aku, Pengkhotbah”. Kata Hayetah, yang berarti “adalah” merupakan bentuk masa lampau (imperfek). Atau dapat di terjemahlkan sebagai “tadinya”. Teks ayat 12 berbunyi, “aku pengkhotbah, tadinya raja atas israel di yerusalem”. Menunjukan bahwa si penulis adalah mantan raja yerusalem yang tidak lagi menjabat. Kemungkinan juga bahwa bisa saja pasal 1-2 menokohkan salomo. Terjemahan kuno fersi T tampaknya juga mengandaikan demikian dan tetap mengartikan melek sebagai raja. Menurut tradisi di PL, salomo tidak langsung mati (bnd. 1 raj 11:41-43). Ia di hukum turun tahta oleh karena dosa-dosanya, tetapi sesudah bertobat ia di perkenankan kembali berkuasa, dan sesudah itu barulah ia mati. Selama masa bertobat itu, salomo menuliskan semacam pengakuan berupa kitab pengkhotbah ini.
1:13 Aku membulatkan hatiku untuk memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat segala yang terjadi di bawah langit. 
Ayat 13 : kata “hati” di terjemahkan dari leb ( bentuk panjangnya adalah lebba). Tetapi, hati dalam bahasa ibrani mencakup juga pikiran. Jadi berbeda dari orang pada masa kini yang bila menengar istilah hati, langsung menghubungkannya dengan prasaan. Padahal dalam kesustraan jawa kuno, hati berhubungan dengan rasa, yang tidak sama dengan “perasaan”. Dengan hikmat, dalam bahasa ibraninya  “chokmah” dalam alkitab PL versi BIS chokmah di terjemahkan dengan kata “bijaksana”. Jadi si pengkhotbah membulatkan pikirannya untuk memeriksa dan meyelidiki dengan hikmat atau kebijaksanaan segala yang terjadi di bawah langit atau di dunia ini.


1:14 Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.  
Ayat 14: pengamatan menyeluruh terhadap pekerjaan-pekerjaan (hamma‘asim) yang telah di buat manusia menperlihatkan hasil yang negatif. Bukan hanya sai-sia saja, malah masih di tambah lagi dengan ungkapan yang kemudian sering-sering muncul, re’ut ruakh, “(seperti) mengejar angin” (TB-LAI, “usaha menjaring angin”). Pengkhotbah menganggap bahwa kehidupan ini akan berlalu dengan sia-sia. Dia bekerja sekuat tenaga, namun ia mendapatkan sebuah kenyataan bahwa dia akan mati dan meninggalkannya. "Menjaring angin" memang lebih tepat, sebab menunjukkan, bahwa kerja keras manusia adalah tanpa tujuan dan sia-sia, karena orang tidak akan pernah dapat memperoleh kepuasan yang sebenarnya. 
1:15 Yang bongkok tak dapat diluruskan, dan yang tidak ada tak dapat dihitung. 
Ayat 15: kata “bongkok” dalam LAI merupakan salah cetak. Mestinya “bengkok” (bnd. BIS-LAI). Di terjemahkan dari me’uat yang berasal dari iwet, “bengkok”. Ada kemungkinan ayat 15 ini merupakan sebuah pribahasa yang di kutip oleh pengkhotbah untuk menguatkan gambarang mengenai keadaan dirinya, sebuah penyesalah yang tidak dapat lagi di ubah dan telah terlanjur terjadi. Di sini pengkhotbah mengemukakan sebuah pernyataan yang kemudian berkembang menjadi sebuah pernyataan teologis di dalam pasal 7:13. Biar bagaimana pun manusia berusaha, keadaan menyeluruh tidak berubah. yang bengkok akan tetap bengkok, tidak bisa di luruskan atau di tetapkan (ttaqan); apa yang tidak ada, tidak bisa di ada-adakan supaya bisa di hitung dan di lihat keberadaanya. 
1:16 Aku berkata dalam hati: "Lihatlah, aku telah memperbesar dan menambah hikmat lebih dari pada semua orang yang memerintah atas Yerusalem sebelum aku, dan hatiku telah memperoleh banyak hikmat dan pengetahuan." 
Ayat 16: pengkhotbah mengaku memperbesar dan menambah hikmat lebih dari pada orang lain. Mengenai makna “semua orang yang memerintah atas yerusalem sebelum aku” bentuk dialok antara seseorang dengan hatinya atau dirinya sendiri merupakan bentuk yang biasa dalam sastra kuno misalnya di mesir, “dialok antara seseorang dengan jiwanya” , dan justru menjadi perhatian khusus terutama bagi tafsir kritis naratif. 

1:17 Aku telah membulatkan hatiku untuk memahami hikmat  dan pengetahuan, kebodohan dan kebebalan.  Tetapi aku menyadari bahwa hal inipun adalah usaha menjaring angin, 
Ayat 17: wa’ettnah (dari akar ntn+waw consecutive pada permulaan kalimat !) libbi, “aku memberi untuk hati ku”. Da’at di sebut sampai tiga kali dan dengan jitu di terjemahkan oleh LAI, “untuk memahami”, “pengetahuan” dan “aku menyadari”. Di dalam ayat 16 diatas di kemukakan bahwa pengkhotbah telah mengumpulkan banyak hikmat dan pengetahuan. Khokma, “hikmat” dan da’at, “pengetahuan” berkaitan satu sama lain. Di dalam pembagian PL yang lain kemungkinan bisa saja antara keduannya di perentangkan, namun dalam kitab pengkhotbah tidak terlihat hal itu. Di dalam ayat ini hikmat dan pengetahuan yang telah di kumpulkan itu akan di pelajari, anehnya, bersama “kebodoan” (holelot, PL. Dari holel ) dan “kebebalan” (siklot,PL . dari sakal). pada pasal 2:12 dan seterusnya, keanehan ini baru menjadi jelas ketika nasib orang berhikmat dan nasib orang bodoh tidak berbeda. Di dalam ayat ini muncul pariasi dari re’ut yaitu re’iyon. Artinya sama saja, “mengejar”. Pengkhotbah menganggap bahwa kehidupan ini akan berlalu dengan sia-sia. Dia bekerja sekuat tenaga, mengumpulkan hikmat dan pengetahuan, menyelidiki kebodohan dan kebebalan. namun ia mendapatkan sebuah kenyataan bahwa baik orang berhikmat atau orang bebal, baik orang berpengetahuan atau bodoh akan memiliki nasib yang sama, akan mati dan meninggalkan semuanya. Itu semua menjadi hal yang sia-sia seperti usaha menjaring angin karna tidak ada yang abadi. Ini adalah sebuah jeritan si pengkhotbah di akhir hidup pada masa tuanya. 
1:18 karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan. 
Ayat 18: meskipun hikmat dan pengetahuan di pelajari sebagai objek bersama dengan kebodohan dan kebebalan, di sini hanya hikmat dan pengetahuan yang di keluhkan. Makin banyak hikmat makin banyak pula kesusahan (kka’as) dan maki banyak pengetahuan makin banyak pula kecemasan (mak’ob). Pengkhotbah mau mengemukakan ironi. Orang bodoh dan bebal sebenarnya hidup enak mereka tidk prlu berpikir banyak. Banyak belajar merupakan tindakan yang berdampak luas. 


BAB III
KESIMPULAN
Pengkhotbah menganggap bahwa kehidupan ini akan berlalu dengan sia-sia. Dia bekerja sekuat tenaga, namun ia mendapatkan sebuah kenyataan bahwa dia akan mati dan meninggalkannya. Itu semua menjadi hal yang sia-sia. Ini adalah sebuah jeritan si pengkhotbah di akhir hidup pada masa tuanya. Mengapa hal ini bisa dialami oleh si pengkhotbah ? Pemikiran pengkhotbah itu muncul karena pada masa mudanya pikirannya hanya terfokus pada apa yang ada di bumi. pengkhotbah hanya melihat apa yang nampak di mata, mengejar hikmat dan kesenangan yang dirasakan dirinya. selalu Berpusat pada dirinya sendiri.
Dalam kehidupan manusia masa kini kurang lebih sama seperti kehidupan masa muda pengkhotbah yang di sesalinya. Orang-orang lebih tertarik pada hal-hal yang tampak secara fisik. Contohnya kekayaan: uang, harta, mobil, motor, handphone, laptop, sawah di mana-mana, rumah lebih dari satu, tabungan di bank yang ratusan juta, dll. Semua orang ingin kaya, hidup dalam kelimpahan dan menjadi orang yang paling pintar dan berhikmat. Tetapi ketika pemahaman kita hanya sebatas jika kaya maka bisa membeli apa saja jika berhikmat dan memahami banyak pengetahuan dapat hidup memerintah dengan leluasa, dan hidup tercukupi secara melimpah ruah. Hal ini berarti fokus hidup kita hanya ada pada hikmat, pengetahuan, kekayaan, dan harta, pada dunia semata. 
Dalam perasaan hampa bahkan justru ketika kita mencapai banyak hal, ketika kita punya segala sesuatu yang berlimpah yang di rasakan oleh pengkhotbah malah adalah kegelisahan. Terkadang dalam hidup, Makin kita punya banyak, malah makin susah. Makin banyak berlimpah, malah justru makin rumit dan makin susah bahkan dalam ayat 18 mengatakan karna di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanya pengetahuan memperbanyak kesedihan. Ayat ini memang betul, bila kita tau banyak kadang-kadang malah membuat kita susah, orang yang tidak tau hidupnya biasa-biasa saja. Semakin banyak tau semakin banyak hal yang akan di tuntut dari kita. Dalam segala kelimpaha pengkhotbah merasakan kebosanan, kegersangan, ia merasakan kekosongan, kepiluan kehampaan, hidup dalam kelebihan namun terasa hampa. Sederhananya seperti ini. rasa lapar, bila di jejali dengan makanan maka rasanya enak. Tetepi bila di jejali terus secara berlimpah dengan makanan, kita akan kekenyangn. Dan akan tiba di suatu titik kita merasa bosan, mau muntah, Dll, menjadi tidak nikkmat lagi. Libur sebentar itu enak, tetapi bila libur terus-terusan pasti ada rasa kehampaan itulah yang di alami dan coba di jelaskan oleh pengkhotbah untuk kita pahami.
Ada masanya uang, jabatan, kekayaan, kepintaran,dan hikmat tidak lagi dapat berbicara. Ada masanya di mana semua manusia merasakan hal yang sama seperti yang di rasakan oleh si pengkhotbah, merasa bahwa apa yang di lakuakan selama hidupnya adalah kesia-siaan. Memiliki segalanya, kekayaan, kekuasaan, pengetahuan, dan hikmat yang melimpah bukanlah jawaban dan bukanlah sebuah penolong. Ada masanya di mana semua manusia berhenti berusaha untuk mempertahankan hidup dan melihat bahwa baik orang kaya atau miskin, baik orang berhikmat atau bebal, baik orang berpengetahuan atau orang bodoh, baik orang yang tua maupun muda dan baik orang saleh atau orang yang jahat akan memiliki nasib yang sama, yaitu menghadapi sebuah kematian. Ingatlah akan Tuhan, sebab semua kesia-siaan yang di rasakan manusia di dalam hidup ini terjadi di bawah bumi. Agar manusia memberi tempat akan Tuhan. pasal 12: 1 mengatakan ingatlah akan pencipta mu pada masa muda mu, sebelum tiba hari-hari yang kau katakan tidak ada kesenagan bagi ku di dalammnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar